Selasa, 11 Juni 2013

Dialog SRI

SMS kesatu dari Pak Wiyu : tgl. 10 Juni 2013

Dear Temans,
THIS WEEK ART ACTIVITIES
Senin, 10 Juni, 09.30,

Diskusi “Eksistensi  . . .

Pecinta seni di luar Indonesia hanya tertarik dengan SENI RUPA Indonesia, bukan dengan issue-issue negativ tentang infrastruktur seni rupa Indonesia. Jika kita bicara tentang seni rupa Indonesia ke orang luar, kita tidak perlu merasa hebat dengan kemampuan kita mengkritik kondisi di Indonesia. Mereka TIDAK tertarik dengan thema itu ! <wiyu bb pin 2634919C>

SMS kedua dari Pak Wiyu : tgl. 10 Juni 2013

Ibarat kita buka baju dan celana dihadapan orang asing untuk memperlihatkan kudis, kurap dan bisul bernanah di kulit kita. Apakah mereka suka ?***


Menjawab SMS Pak Wiyu

Di masa lalu, kita mengenal corak lukisan Mooi Indie. Pelukis besar Sudjojono (1946) menyebutnya sebagai lukisan yang “serba bagus dan romantis bagai surga, semua serba enak, tenang dan damai”. Persoalan jadi serius tatkala lukisan Mooi Indie menggambarkan dusta atau kebohongan tentang realitas kehidupan sehari-hari di Indonesia.

Karena itu, Sudjojono begitu keras menolak lukisan Mooi Indie—Dan menawarkan apa yang disebutnya “kesenian jiwa ketok”—kesenian yang memperlihatkan jiwa seniman yang tergurat dalam karya seni tentang alam pikiran dan keadaan masyarakat yang sebenarnya atau nyata.   

Dengan ilustrasi itu saya ingin menegaskan bahwa kritik seni rupa pun harus berjiwa ketok—menampakkan keadaan sebenarnya dari realitas seni rupa di Indonesia dalam kritik yang dibuat seseorang atau sejumlah orang. Tentu kritik adalah sebuah upaya terbuka untuk dialog, tukar pengetahuan, dan berbagi pemahaman dengan tetap menghargai beda sudut pandang.

Saya kaget mengetahui ada seorang pemerhati seni ( ? ) yang memandang kritik sebagai perkara buka-bukaan “issue-issue negativ” di hadapan orang lain—khususnya pecinta seni di luar Indonesia. Dia menganalogikannya sebagai “ibarat kita buka baju dan celana dihadapan orang asing untuk memperlihatkan kudis, kurap dan bisul bernanah di kulit kita.” Dia menyangsikan para pemerhati seni di luar Indonesia akan suka dengan perilaku  kritik.

Saya ingin menyebut Anda sebagai seorang pemerhati seni dengan cara pandang Mooi Indie yang turistik dan paranoia dengan kebenaran tentang situasi dan kondisi infrastruktur seni rupa Indonesia saat ini. Ironis memang—sebab sosok manusia pemerhati seni seperti Anda yang seharusnya bisa mengedepankan kebenaran sejatinya, justru menjelma sebagai makhluk anti-kritik. Pemikiran sesat ini akan menggiring kita beranggapan Anda sebagai manusia pedagang lukisan ingin memanfaatkan kelemahan infrastruktur seni rupa di negeri ini untuk kepentingan pribadi dan primordialnya.

Perlu dimengerti bahwa pecinta seni di luar Indonesia bukanlah segolongan turis mancanegara yang maunya kepada hal-hal yang romantik dan nostalgik. Mereka, apalagi yang berasal dari Barat, adalah para intelektual di bagian penting seni rupa yang menghargai kritik sebagai sarana tumbuh-berkembangnya peradaban. Kita tahu seni rupa Barat ( juga di China, Jepang dan India ) adalah seni rupa yang dibangun oleh kritik yang dinamis dan dialog yang intesif di antara penghayatnya.  

Itu sebabnya kenapa saya berkehendak menerbitkan diskusi “Kolektor Menjadi Kurator” dalam bentuk buku—dan menyebarkannya ke forum-forum penting seni rupa  internasional. Saya percaya, masyarakat seni internasional adalah masyarakat yang sadar kritik sehingga mereka akan mau menerima persebaran pengetahuan dan pemahaman kritis tentang seni rupa Indonesia.

Dengan begitu, buku itu pun bisa menjadi semacam sarana yang memperlihatkan kepada masyarakat seni rupa internasional bahwa masyarakat seni rupa Indonesia adalah masyarakat yang penuh dinamika dalam wacana—masyarakat yang terbuka dan membuka diri untuk berdialog dengan segala perkembangan yang berlangsung di dalam dan luar negeri.

Saya akan menutup tulisan ini dengan pertanyaan : Dialog serupa ini, tidakkah pantas bila disalah artikan sebagai perebutan “KUASA PENGARUH DI DUNIA SRI” antar pihak yang sama sama tololnya ?

Surabaya, 11 Juni 2013
hendrotan***


Amrizal Salayan, Dosen ITB (11/6’13),  jam 18.26 wib

Ya.. Yang dapat  "Menelanjangi diri sendiri" lah yang memerlukan kekuatan mental spiritual. Hanya manusia yang sangat yakin akan jalan perjuangannya lah yang dapat melakukan hal itu...   Salam hangat u P.Wiyu atas  pikiran2nya yang inspiratif u di respons bersama. Itu pun sebuah 'ketelanjangan'. Dengan diskusi ini kita lebih dapat menyaksikan diri kita sendiri di tengah peta senirupa indonesia... 

Salam perjuangan  u Kangmas hendrotan..***  



Wicaksono Adi, penulis seni rupa (26/6’13), Jam 16.00

Pak Hendro Tan,

Saya memiliki pengalaman yang menarik. Dalam sebuah perbincangan dengan kritikus sastra almarhum Subagio Sastrowardoyo tahun 1989, ada satu hal yang saya ingat betul. Saat itu Pak Bag (demikian panggilan akrab beliau) mengatakan bahwa terdapat perbedaan mendasar tentang pengertian dan fungsi kritik dalam dunia seni-sastra dengan kritik pada dunia kuasa-politik. Dalam dunia seni-sastra kritik adalah bagian inheren yang tak dapat dipisahkan dengan denyut nafas dan perkembangan seni-sastra itu sendiri. Ketika dunia seni-sastra mengalami kemandegan, kelesuan atau bahkan kemacetan, maka dunia kritik dan para kritikus akan ikut disalahkan. Dunia kritik harus bertanggung jawab terhadap kemandegan tersebut. Kritik yang lemah akan menghasilkan seni-sastra yang lemah pula. Maka, jika kritik dihindari maka tunggu saja kehancuran seni-sastra itu sendiri.

Sementara dalam dunia kuasa-politik, kritik cenderung dipahami sebagai perongrong, pengganggu, pengacau dan semacam ancaman penghancur sehingga harus disingkirkan atau dibasmi. Kritikus adalah musuh penguasa politik. Maka, orang yang ketakutan terbirit-birit dan paranoid terhadap kritik, berarti orang itu golongan penguasa, atau sekurang-kurangnya ingin menjadi penguasa, atau berpikir dalam kerangka kuasa-politik.

Saya setuju pendapat Subagio Sastrowardoyo yang nota bene adalah salah satu kritikus dan penyair besar yang dimiliki sastra Indonesia itu. Dan kebetulan saya banyak juga bergaul di dunia sastra. Setahu saya, perdebatan dalam dunia seni rupa Indonesia masih belum apa-apa dibanding ketajaman dan kekuatan kritik-kritik dalam dunia sastra. Kritik-mengkritik dalam dunia seni rupa masih penuh basa-basi. Orang takut dengan bisul, nanah atau aib-aibnya diperdebatkan atau dibedah di atas meja dengan blak-blakan.

Maka, harus dikatakan bahwa dalam dunia seni rupa akan lebih potensial terjadi berbagai "manipulasi" dan kepura-puraan. Saya berharap orang yang bergiat di dunia seni rupa dapat belajar menghilangkan watak cengeng sehingga berani adu kritik yang lebih hebat, lebih blak-blakan. Kecengengan hanya akan menghasilkan kelembekan. Dan kelembekan hanya akan menghasilkan kaum oportunis.

Perlu dicatat, di dunia sastra Indonesia ada tokoh bernama Chairil Anwar yang pernah bilang: "koreklah luka hingga darah dan nanah mengurur sampai tandas, hingga hilang pedih perihnya". Hanya dengan begitu engkau dapat melampaui rasa sakit itu sendiri, "lalu menghambur, menerjang, menerjang...". Hanya dengan dengan begitu engkau dapat "naik kelas", dari tukang "mengembik" menjadi manusia yang benar-benar memiliki jiwa.
Kata Chairil Anwar lagi, hanya dengan begitu engkau dapat berkata: "aku ingin hidup 1000 tahun lagi".

Salam,
Wicaksono Adi, penulis seni rupa.***



     




     

Kamis, 06 Juni 2013

KOLEKTOR MENJADI KURATOR - KESIMPULAN - Update tanggal 6 Juni 2013

hendrotan, pengelola blog dan pemilik galeri (6/6'13)

Para pembaca blog yang budiman, sebagai penutup diskusi bertema kolektor menjadi kurator, pada akhirnya saya memberi kesimpulan sebagai berikut :

KESIMPULAN
Diskusi bertema Kolektor Menjadi Kurator

Tanggapan perihal “Kolektor Menjadi Kurator” di www.sriseutuhnya.blogspot.com ini—dari 28 April sampai 5 Juni 2013—telah menjadi wacana publik yang sarat dengan pemikiran, pemahaman dan perenungan.

Saya tidak membayangkan sebelumnya bahwa undangan untuk mendiskusikan tema kolektor menjadi kurator akan disambut dengan begitu antusias oleh banyak pelaku seni rupa—akademikus, kurator, kritikus, penulis, kolektor, pecinta seni, perupa, dan pemilik galeri—dari berbagai kota di Indonesia.

Yang sungguh mencengangkan dan mengharukan adalah respons pembaca. Tak terkira, selama satu bulan lebih itu, -+ 8000 pembaca menyimak diskusi di blog ini. Antusiasme oleh masyarakat SRI ini meyakinkan saya bahwa infrastruktur seni rupa Indonesia memang perlu ditata-kelola secara lebih baik lagi.  

Saya melihat bahwa kesadaran bersama untuk memperbaiki infrastruktur SRI itulah yang membuat diskusi ini mengalir deras dan bertahan cukup lama di selingan  pro—kontra pendapat setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Perbedaan dan persamaan pemikiran atau perspektif adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam diskusi apa pun—tak terkecuali diskusi dalam blog ini. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita menghadapinya dengan sikap kritis seraya menjunjung tinggi prinsip etis dalam berkomunikasi di ruang publik.

Karena itu—jika bekesenian diartikan sebagai laku estetis berdasarkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab profesional, maka sudah seharusnya bila setiap pemangku kepentingan dalam infrastruktur Indonesia saling menghormati keberadaan masing-masing dan bersikap bijaksana dalam menyikapi segala keterbatasan yang ada. Bukan sebaliknya atau malah bersikap semau gue ( pongah ), apalagi kalau ditengarai memiliki misi-misi pragmatis yang terselubung, yang akan berujung mengacaukan infrastruktur seni rupa di Tanah Air.

Harus pula disadari bahwa blog ini bukanlah media untuk menyebarkan permusuhan melainkan forum publik untuk mendiskusikan persoalan yang dianggap penting—berita, peristiwa, pemikiran—di dunia seni rupa Indonesia dengan objektivitas.

Kembali kepada diskusi “Kolektor Menjadi Kurator” seperti kita ketahui bahwa ini bermula dari pameran seni rupa Beyond Boundaries: When Collectors Curate a Show yang berlangsung di Umahseni Gallery Jakarta, 25 April-25 Mei ( 28 Mei ? ) 2013.

Saya menganggap kasus pameran tersebut penting diangkat pada blog sriseutuhnya untuk dibicarakan kepada publik, karena ( adanya ) keterlibatan langsung kolektor yang dikhawatirkan membawa kepentingan personal. Jika kasus tersebut dibiarkan saja tanpa dikritisi dengan seksama—maka penetrasi pasar yang telah menembus wilayah wacana atau ilmu pengetahuan / kedisiplinan itu akan membuat seni rupa Indonesia menjadi  rimba raya tak bertuan yang dapat diklaim oleh siapa saja, terutama oleh mereka para kapitalis, (tulisan SRI AKANKAH DI BEBAS-LIARKAN di blog hendrotan.blogspot.com), maka itu sama saja artinya dengan kita—sebagai ilustrasinya—membiarkan ketika pemilik pabrik obat dan dealer berpromosi dengan klaim muluk muluk kemanjuran obat racikan sang apoteker tanpa melewati proses standar kwalitas kontrol dan pengujian klinis oleh badan Pengawas obat obatan dan makanan, ( didalam hal ini diibaratkan sebagai kurator profesional dengan reputasi baiknya ). Karena itu kalau kita mendiamkan, akibat buruknya tentu sudah dapat kita perkirakan.

Itu sebabnya saya merasa perlu mempertanyakannya, lagi pula kasus tersebut telah menyinggung nilai-nilai terpatri dalam infrastruktur seni rupa—yaitu integritas dan tanggung jawab profesional. Rupanya, NILAI itulah yang menggerakkan banyak kurator, kritikus, pemilik galeri dan kolektor kelas atas untuk terlibat dalam diskusi ini. Dari sini kita jadi lebih mengerti bagaimana mereka menjelaskan dan memaknai kelebihan dan kekurangan atau keunggulan dan kelemahan bukan hanya profesi tapi juga eksistensi sosok kurator seni rupa.  
     
Jadi, teranglah apa yang menjadi tujuan utama digelarnya diskusi kolektor menjadi kurator ini—yaitu bukan untuk menghakimi kasus tersebut atau memprotes pameran itu, melainkan untuk mengajak berpikir kritis, dan cerdas semua pemangku infrastruktur di dunia seni rupa Indonesia, sekali lagi sebagai ruang pembelajaran bersama insani senirupa Indonesia dari yang terdidik menjadi pendidik dan sebaliknya.

Tak lupa saya menghaturkan banyak terima kasih kepada seluruh kontributor yang telah menanggapi diskusi ini.

Dengan ini diskusi bertema “Kolektor Menjadi Kurator” saya tutup, sampai ketemu di tema lain yang akan datang di blog sriseutuhnya.

Surabaya, 06 Juni 2013
Salam hangat
hendrotan

Note :
Diskusi online ini akan dijilid dengan dua macam bahasa Indonesia dan Inggris ( penerjemah : Landung Simatupang ), selanjutnya akan disebarkan gratis ke kontributor, juga akan dikirim kepada Team of Curators di Venice Biennale, Sao Paulo Triennale, Documenta, MoMA Museum, Guggenheim Museum, Kunstmuseum, Tate Modern Art Museum, Singapore Art Museum, Australian Centre for Contemporary Art (ACCA) dan Pemred Art Forum Mag.***



Aminudin TH Siregar - Ucok, Kurator seni rupa, Direktur Galeri Soemardja (10/6’13)

KESIMPULAN Diskusi bertema Kolektor Menjadi Kurator

Yth. Pengurus dan Anggota AGSI,

Izinkan saya mengekspresikan saja apa yang sudah berlangsung dan diperdebatkan dalam beberapa bulan terakhir sehubungan "kolektor menjadi kurator" yang sudah diakomodasi oleh Emmitan Gallery. Bagi saya, apa yang telah terjadi adalah suatu niatan yang tulus untuk bersama-sama membenahi pranata seni rupa di tanahair: membangun konsensus; etika; moral dalam berbisnis, berbudaya, dan bersosial; dan ini semua adalah refleksi dari pekerjaan rumah kita yang begitu banyak guna memperbaiki realitas dunia seni rupa yang sama-sama kita hadapi.  

Saya pribadi ingin mengungkapkan salut dan apresiasi tinggi untuk Emmitan Gallery yang telah mengakomodasi diskusi tersebut. Dan saya percaya, memang sudah saatnya AGSI berperan aktif - seperti yang telah ditunjukkan oleh Emmitan Gallery.

Dari sektor lain, kami, para kurator, tentu memiliki agenda yang tak kalah besar untuk memikirkan bagaimana membenahi kesemrawutan kerja profesi kurator Indonesia. Seperti yang telah lama diwacanakan semenjak beberapa tahun terakhir, barangkali, perlu ada satu wadah untuk para kurator ini. 

Salam hangat,
Aminudin TH Siregar
Direktur Galeri Soemardja-ITB***






Senin, 27 Mei 2013

KOLEKTOR MENJADI KURATOR - Update tanggal 27 Mei 2013


Farah Wardani, Direktur Indonesian Visual Art Archive (27/5’13) 

Pak Hendro, ini catatan kecil saya:

Menurut saya perihal Kolektor Menjadi Kurator akan saya jelaskan dalam beberapa pointers di bawah ini:

1. Bagi saya, peran kurator (independen) adalah sebuah posisi yang bebas diambil oleh siapa saja, bahkan juga selama ini seniman/pemilik galeri pun sering mengambil peran itu dalam hal kerjasamanya dengan seniman dalam menyelenggarakan pameran - hanya saja tak setiap kali mengklaim dirinya sebagai kurator. Tapi intinya, sekarang siapa pun bisa menjadi kurator karena juga tidak ada regulasi atau batasan-batasan yang jelas mengenai curatorship di Indonesia (saya akan kembali ke hal yang terakhir ini nanti).

2. Kerja kurator yang saya tahu sejatinya adalah usaha mengkontekstualisasikan pengkaryaan seni dan menstrukturkannya dalam sebuah representasi visual  - yang biasanya adalah pameran. Disini hubungan dan dialog si kurator dengan seniman sangat penting dan bagi saya harus terjadi secara sejajar. Jadi siapa pun, mau itu pengamat seni, penulis, kolektor pun bisa melakukannya, kalau terjadi proses itu dengan baik.

3. Namun saya juga sadar bahwa dalam hal ini, ketika kolektor menjadi kurator bisa menjadi masalah atau pertanyaan karena ada potensi bias kepentingan. Sebagai kolektor, harus siap menghadapi pertanyaan dari pengunjung apakah representasi seniman yang dilakukannya benar-benar bebas dari kepentingan sepihak - misalnya dalam hal ini mendongkrak nilai karya-karya seniman yang dikoleksinya sendiri. Tentu saja dalam hal ini nilai nominal. Kalau bisa membuktikan bahwa pameran yang dikuratorinya bebas dari hal tersebut, saya rasa tidak masalah. Dan tentu saja publik bebas menilai apa saja.

4. Tapi secara keseluruhan bagi saya, persoalan curatorship (balik ke poin 1) memang masih sangat rentan di Indonesia. Tak ada legitimasi publik atau institusi yang secara legal-formal bisa 'meresmikan' atau menetapkan standar-standar seseorang berprofesi sebagai kurator, seperti museum misalnya, dimana kurator koleksi negara dapat bekerjasama dengan kurator independen dalam menciptakan program-program yang mampu mengarahkan sejarah serta perkembangan seni rupa negeri ini. Penilaian dan kanonisasi seni rupa masih cenderung terseret pada powerplay antara relasi kolektor-galeri-seniman, yang kadang personal sekali sifatnya - tak melibatkan kepentingan publik luas atau pendidikan seni untuk publik. Bagi saya, ini masih masalah yang mengakar sekali dan ujung-ujungnya menciptakan kerancuan-kerancuan seperti perdebatan kolektor menjadi kurator ini.

Begitu kiranya pendapat saya, terima kasih

Farah Wardani
Direktur Indonesian Visual Art Archive***


Wahyudin, Kurator (27/5’13) 

Sesat-Pikir di Minggu Pagi yang Jahanam

Oleh WAHYUDIN

“Dalam semua keadaan, yang paling baik adalah tahu batas.”
—Titus Maccius Plautus (254-184 SM.)

MINGGU PAGI itu—19 Mei 2013—adalah Minggu pagi paling jahanam dalam hidup saya. Jeritan pesan pendek (SMS) dari telepon genggam saya bertalu-talu mengabarkan sabur-limbur tanggapan pembaca atas esai saya, “Kolektor yang Melampaui Batas,” yang terbit di Jawa Pos. Di antaranya, sembilan butir SMS dari Irawan Hadikusumo, seorang pecinta seni di Surabaya.

Tersebab sembilan butir SMS-nya mengandung kata-kata kotor, salah-duga, dan sesat-pikir—apalagi telah disebarkannya ke orang lain, maka menjadi perlu bagi saya untuk menanggapinya di sini, tentu saja, bukan sebagai perkara pribadi melainkan sebagai wacana publik ihwal profesi dan eksistensi kurator di mata pecinta seni.

Baiklah saya terangkan—utamanya untuk pembaca yang belum membaca tulisan tersebut—prinsipnya: Sebuah tulisan yang terbit di media massa adalah sebuah publikasi proses berpikir yang berkehendak menjadi suatu percakapan dengan diri-sendiri dan dengan pemikiran orang lain. Demikianlah tulisan saya tersebut dibuat dan diterbitkan untuk keperluan urun-rembug dalam percakapan publik tentang kasus “Kolektor Menjadi Kurator” yang ramai diperbincangkan di www.sriseutuhnya.blogspot.com ini. 

Tegasnya, tulisan saya tersebut dibuat dan diterbitkan atas dasar kesadaran eksistensial saya sebagai kurator independen—tanpa intervensi dan upah dari pihak lain. Karena itulah setiap kata, kalimat, dan pendapat yang tersurat di dalamnya dapat dan siap saya pertanggungjawabkan secara legal dan intelektual.  

Dengan prinsip dan kesadaran eksistensial itu saya malah tak habis pikir gerangan apa yang mendorong pecinta seni itu bertingkah bak bonek, polisi moral, atau pengacara Wiyu Wahono—subyek wacana dalam tulisan tersebut dan pusat perhatian dalam diskusi online “Kolektor Menjadi Kurator.”

Aneh bin ajaib, bukannya Wiyu yang merespons, justru dia yang meradang seperti pelancong kesurupan yang tersesat alamat sehingga menerjang etika dalam komunikasi publik. Dia menggonggong saya dengan kata-kata tak beradab sebagai “budak cukong” atau “HAMBA bpk (Hendrotan—red.) yg takut kehilangan job pekerjaan” atau “kurator yang dibayar n lagi menggantungkan hidupnya ke Emmitan Gallery.”

Tentu saja—saya tegaskan—gonggongan itu merupakan salah-duga yang jumawa, sesat-pikir yang sumir, dan tuduhan-sosial yang banal tentang profesi dan eksistensi orang lain. Ternyata, gonggongan yang tak kalah tak beradabnya ditujukannya pula kepada Hendrotan. Dia menuding integritas pemilik Emmitan Contemporary Art Gallery dan pengelola blog ini sebagai seorang “pengupah” atau “cukong” yang “mau merusak tatanan seni Indo dg mempunyai budak.”

Selama sepekan ini saya mati-matian mencari nalar gonggongan itu dengan tautan cara-pikir yang eksentrik dalam khazanah filsafat. Tapi—hasilnya nol besar. Alih-alih, saya malah menemukan mambang perbandingan yang dibuat pecinta seni itu untuk membela kecenderungan retorika “pertanyaan dibalas pertanyaan” Wiyu Wahono. Dia bermaksud menyamakan Wiyu dengan Socrates atau menyandingkan retorika Wiyu dengan dialektika Socrates dan/atau metode Socratik.

Alangkah menggelikannya—kalau bukan gegabah. Baiklah diketahuinya bahwa metode Socratik bukanlah asal-asalan “pertanyaan dibalas pertanyaan,” melainkan sebuah cinta-kebijaksanaan yang berkehendak menemukan kebenaran melalui dialog yang lekat. 
 
Dari yang menggelikan itu saya temukan setitik kebenaran—bahwa pecinta seni itu bukanlah golongan orang yang memahami tradisi intelektual dalam bertukar pikiran di ruang publik—di mana tulisan harus dibalas dengan tulisan, bukan dengan gonggongan kasar atau kata-kata kotor.

Namun demikian, menjadi bisa dimengerti jika cara-pandangnya terhadap relasi-kerja antara galeri dan kurator merupakan cara-pandang kolonialis yang hirarkis—sebagaimana terungkap dari frasa “budak dan cukong” atau “pengupah dan hamba” yang tersurat dalam kata-kata pecinta seni itu.

Bagaimanapun cara-pandang kolonialis yang hirarkis itu mengejutkan—kalau bukan aneh tapi nyata—dalam konteks seni rupa kontemperer saat ini. Dia mendesak-desak perkara batas, tapi dia juga yang membudak-hambakan profesi dan eksistensi orang lain. Di sinilah dia makin menggelikan. Seperti halnya Wiyu yang mencatut sosok—entah ini fiktif atau nyata—Florida Rubell sebagai dalih-pembenaran, pecinta seni itu mencederai buku The Value of Art Michael Findlay dengan salah-baca yang gegabah.

Dia mendaku bahwa Findlay “menulis di sana sdh biasa kolektor mengkurasi pameran.” Tapi pembaca yang cermat akan segera tahu bahwa pendakuan itu tak lebih dari dalih-pembenaran untuk mendukung ulah Wiyu dan kawan-kawan dalam pameran seni rupa Beyond Boundaries: When Collectors Curate a Show di Umahseni Gallery, 25 April-25 Mei 2013. Sebab, setelah membaca tuntas dan saksama buku tersebut, saya tak menemukan pada bagian apa atau halaman berapa keterangan tersebut termaktub.

Sampai pada titik itu, saya tak ingin menduga-duga bahwa cara-pandang kolonialis yang hirarkis pecinta seni itu merepresentasikan ucapan, pikiran, dan tindakan pecinta seni lainnya—terutama kolektor dan kolega-koleganya yang menjadi pusat perhatian dalam perbincangan “Kolektor Menjadi Kurator” di blog ini—terhadap profesi dan eksistensi kurator seni rupa di Indonesia.

Soalnya, jika benar—betapa sangat sialnya seni rupa Indonesia terpeluk oleh pecinta seni dan kolektor seperti itu. (*)

WAHYUDIN, Kurator Seni Rupa***


Nia Gautama, Seketaris AGSI (27/5’13) 
    
Terimakasih kepada Pak Hendrotan yang memberi kesempatan kepada saya mengutarakan pendapat mengenai topik yang sedang hangat : “When Collectors Curate a Show”. Saya pribadi  masih  ‘anak bawang’ dalam lingkup seni rupa, walaupun perkenalan saya kepada senirupa sudah sejak 2000. Sepertinya Pak Hendrotan punya intuisi tersendiri sehingga memberi kepercayaan kepada saya (yang masih ‘bau kencur ini’) untuk berpendapat.

Dalam mengutarakan pendapat, saya tidak mau ‘asal bunyi’, ‘nyamber’ gak jelas, maka saya menyempatkan diri untuk melihat sendiri pameran tersebut. Setelah melihat pamerannya, perasaan saya biasa-biasa saja, karena memang tidak ada yang istimewa dari pameran tersebut  (setidaknya menurut pendapat saya, karena saya tidak merasakan ‘woow’ dari pameran ini).

Sangat disayangkan bahwa saya hanya mendapatkan 1 (satu) buah katalog yang tersisa, dan itu katalog salah satu peserta pameran (kolabrasi kolektor dan seniman). Saya kira untuk ketiga seniman yang masing – masing dikurasi oleh ketiga  kolektor  tersebut , katalognya bisa jadi satu, sehingga merupakan satu rangkaian pameran utuh dan tidak terpisah-pisah, walaupun pengkurasiannya bisa secara individu.

Tentang pameran
Menelaah judul pamerannya “Beyond Boundaries, When Curators Curate a Show’, jelas ini ditujukan kepada publik untuk melihat, mengamati, bahkan (mungkin) menilai  kualitas pamerannya. Kolektor yang selama ini mengkoleksi karya, tentunya punya pandangan dan penilaian tersendiri terhadap suatu karya, dan kedua hal tersebut yang menentukan mereka (kolektor) untuk berkeputusan ‘mengkoleksi atau tidak’ suatu karya. Jadi saat mereka ditantang untuk mengkurasi, tentunya mereka menuangkan apa yang ada dibenak mereka terhadap suatu karya. Selanjutnya, cara mereka menuangkan pemikiran mereka terhadap suatu karya kedalam bentuk tulisan, akan menentukan bobot atau kapasitas pengetahuan mereka terhadap objek yang dikurasi, juga ketrampilan olah kata dan kekayaan kosa kata yang digunakan.  Saya hanya membaca wacana dari satu katalog, uraiannya sederhana , jelas, dan terlihat bahwa penulisnya cukup rajin membaca wacana seni rupa.

Tentang sah atau tidak sah
Siapapun berhak mencoba melakukan profesi orang lain, asal segala sesuatunya dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya ‘percobaan’ tersebut dilakukan dengan niat yang tulus (bukan untuk niatan lain), kesungguhan, dan tidak asal. Senimanpun berhak mengkurasi suatu pameran. Sekarang ini sepertinya sedang trend, para selebritis ‘populer ‘ditantang untuk menyutradai sebuah film yang diangkat dari novel penulis (selebritis) ‘populer ‘ yang diproduseri oleh rekan selebritis yang juga popular. Dan ini bisa dengan mudahnya terlaksana karena unsur ‘rekanan’. Mengenai kualitas penyutradaraan lantas tidak menjadi terlalu penting lagi, karena dilakukan oleh faktor  ‘siapa kenal siapa’dan ‘profesi pelaku penyutradaraan’ tersebut. Dan seandainya hasil karya filmnya laku, bisa jadi ini karena faktor ‘SIAPA’ dibalik film tadi.

Nah sama saja kasusnya dengan para kolektor (terpilih) yang mengkurasi dan berkolaborasi dengan  seniman (terpilih), yang ditantang oleh seorang pemilik galeri. Seandainya pameran tersebut membuahkan ‘nilai  ekonomi ‘ yang cukup baik, bisa jadi yaa….faktor ‘dibalik layar’ tadi. 

Apakah dikemudian hari  para tokoh ini beralih profesi,  yah itu juga hak masing-masing, asal segala sesuatunya dapat ‘dipertanggungjawabkan’ dan dengan niatan yang tulus.
Demikian pendapat saya, silahkan disimpulkan sendiri.

-Nia Gautama, seniman, pemerhati seni-***



Djuli Djati Prambudi, Dosen (28/5’13)

Yth. Kawan-kawan sebangsa dan setanah air seni rupa Indonesia.

Saya sungguh menikmati polemik ini. Karena itu saya akan nimbrung sedikit di medan pertempuran yang makin sengit dan menarik ini. Saya akan mengawali dengan bertanya, “Apakah boleh seorang kolektor menjadi kurator dalam suatu pameran?”. Saya jawab sendiri, “Ya boleh-boleh saja. Cuma TIDAK pantas dan TIDAK pas”.

 Mengapa tidak pantas dan tidak pas? Inilah alasannya:

1.            1.      Kurator (independen) dalam konteks seni rupa Indonesia memang sebagai “profesi” terbuka.  Artinya,  siapapun bisa mengklaim dirinya sebagai kurator (toh tidak ada asosiasi profesi kurator). Kelahiran para kurator di Indonesia sebenarnya semacam kecelakaan sejarah seni rupa Indonesia (modern/kontemporer) tatkala boom seni rupa tiba-tiba meledak di Indonesia tanpa ada latar belakang sosial-historis yang bisa menjelaskannya. Boom itulah yang memicu pertumbuhan pasar seni rupa, yang pada akhirnya secara spontan memerlukan medan seni yang makin luas dengan persiapan yang serba darurat. Munculah galeri-galeri darurat, art dealer darurat, kolektor darurat, hingga akhirnya juga kurator darurat. Karena itu, kinerja pasar seni rupa Indonesia juga sebagai pasar darurat.

2.      Mengapa darurat? Karena, fenomena boom seni rupa datang pada awalnya bukan sebagai efek dari desain sejarah seni rupa Indonesia (modern). Namun, boom itu datang semata-mata sebagai efek krisis ekonomi dan politik pertengahan dekade 1980-an, sekalipun pada saat itu ada efek domino dari boom seni rupa di Asia Pasifik dengan fenomena pembelian besar-besaran karya seni rupa modern Eropa oleh para saudagar raksasa Jepang. Krisis sosial-politik di Indonesia pada akhirnya memacetkan infrastruktur ekonomi, kemudian para pemainnya (pedagang) mengalihkan investasinya sementara di karya seni (sekalipun pembelian karya seni itu) pada awalnya tidak disadari sepenuhnya nilai intrinsik di dalam karya yang dijadikan ikon pasar saat itu.

3.   Kelahiran pasar seni rupa yang tidak dibangun dari supra/infrastruktur sejarah seni yang lengkap, akhirnya menimbulkan historical chaos di berbagai tataran wacana dan praktiknya. Termasuk sekarang ini di tataran praktik kuratorial. Praktik seni rupa yang miskin wacana, akhirnya bermuara di pasar seni rupa yang miskin etika. Karena, di model pasar yang serba darurat ini, peran kritikus seni, wartawan seni, media massa seni, pendidik seni, perguruan tinggi seni, termasuk kurator, yang jelas-jelas sebagai produsen wacana yang didasarkan research by theoretical frame work, tidak mendapatkan tempat yang memadai. Dengan kata lain, peran dan posisinya sebagai pewacana seni tak dihitung atau dihargai dalam medan seni (pasar) yang darurat itu.

4.      Kalau sudah demikian, lantas apakah seni rupa Indonesia tetap dipelihara atau dikondisikan darurat terus-menerus? Kalau jawabannya “ya”, maka siapapun dengan seenaknya bisa menjadi kurator kapan saja.  Tapi, kalau jawabannya “tidak”, maka agar perkembangan seni rupa Indonesia tidak mundur ke belakang, sejarah seni rupa Indonesia butuh “darah segar” berupa pemikiran baru yang berbasis kekuatan wacana, teori, paradigma, yang semuanya itu pekerjaan special para teoritikus seni, kritikus, peneliti, pendidik, dan tentu saja kurator. Kurator adalah orang yang mengeksplorasi peristiwa seni menjadi peristiwa budaya dan sejarah yang bermakna. Karena itu dia penting!


DJULI DJATIPRAMBUDI – Sby***


Syakieb Sungkar, Kolektor dan Penasihat PPSI (31/5’13)

Sebenarnya Kolektor menjadi Kurator boleh2 Saja asalkan dibekali oleh kemampuan dan pengetahuan yg cukup dalam mengkurasi. Kemampuan mengkurasi nantinya akan terefleksi dari karya yg dipamerkan serta kualitas catatan kuratorial yg dihasilkan.

Memang belakangan ini Ada keluhan perihal Kerja sebagian Kurator yg asal2an. Seringkali tulisan Kurator melenceng dan tidak membahas Karya itu sendiri sebabnya barangkali mereka tidak hadir berkunjung saat Karya sedang dibuat. 

Kalau Kolektor bisa mengkurasi dgn kualitas yg lebih baik, itu akan menjadi terobosan. Sayangnya hasil kurasi Kolektor di Galeri Leo kemaren, sangat rendah mutunya. Itulah sebabnya banyak kritik ditujukan pada pameran tersebut. 

Sementara terlihat komentar2 Wiyu sangat tinggi Hati dan melenceng. Misalnya dia bilang bahwa Karya yg dipamerkan 60% terjual karena dikurasi oleh Kolektor. Padahal Kerja kurasi yg benar itu tak Ada hubungannya dgn penjualan. 

Belum lagi kenyataannya yg beli itu Karya adalah Wiyu sendiri. Jadi seperti cerita orang menggarami laut.***


Chris Dharmawan, Pemilik Galeri, Kolektor  (1/6’13) 

PEMIKIRAN TENTANG KEBANGGAAN DAN PENGHORMATAN TERHADAP SEBUAH PROFESI. 
- Sebuah tanggapan terhadap polemik double profesi kolektor kurator -
Oleh : Chris Dharmawan 

Sejak kecil saya sangat menggilai olah raga. Saat di SMA saya sudah berhasil mengikuti turnamen tennis tingkat Nasional kelompok umur .Saya bermimpi untuk menjadi juara Nasional, dan untuk itu saya berlatih keras untuk menggapai cita cita. Di dalam olah ragalah saya mula mula mengenal bahwa perjuangan menuju keberhasilan itu ternyata bukan perkara sepele. Bukan saja bakat dan ketrampilan ,tetapi juga penguasaan teori, fisik yang prima ,disiplin tinggi, ketekunan, ditambah pelatih yang baik, serta proses mengikuti pertandingan pertandingan untuk menaikan peringkat dan mengasah mental juara. Semua itu dilalui dalam proses waktu yang tidak sebentar.  Toh akhirnya saya harus menyadari bahwa tingkat dan kelas kemampuan saya hanya sebagai petenis remaja yang cukup baik dan berbakat , tidak untuk kapasitas juara Nasional seperti yang saya cita citakan. Dan saya tetap bangga dengan pencapaian itu.

Pengalaman masa remaja diatas membuat saya selalu mengagumi dan menghormati orang orang yang berprestasi, Saya kadang terharu saat menonton akhir akhir ronde sebuah pertandingan tinju, dimana pada detik detik itu seorang petinju berjuang mati matian untuk membuktikan segala jerih payahnya untuk menjadi juara. Tidak terbatas di dunia olah raga saja, sampai sekarang saya selalu menganggap mereka yang berprestasi tinggi itu sebagai manusia ajaib, entah itu olah ragawan, businessman, pemusik, pemain film, politikus, sastrawan ,pelawak, perupa maupun kurator idola saya. Mengapa ajaib ?? Sebab saya selalu berkaca dan membandingkan dengan kemampuan diri ,disertai  kesadaran bahwa untuk mencapai sebuah profesionalisme dalam profesi itu tidak semudah yang dibayangkan .

Kita sudah terbiasa menganggap sebuah pencapaian itu adalah hal yang wajar wajar saja. Kita tidak menganggap penting proses menuju sebuah pencapaian. Kita sering tidak sadar atas proses pencapaian juara Liga Premier Inggris misalnya. Kita tidak menyadari bahwa untuk menggapai prestasi menjuarai Liga Premier Inggris itu harus dilalui dengan perjuangan menjuarai Liga Divisi 3,2,1 dan baru di Liga Utama. Untuk menyamai prestasi Manchaster  United itu, mereka  harus menunggu puluhan, bahkan seratus tahun lebih atau bahkan tidak mungkin akan menggapai untuk selamanya.

Membandingkan infra struktur dalam dunia seni rupa, bisa di analogikan dengan infra struktur di dunia sepak bola. Kalau didunia seni rupa  ada seniman, kolektor, galeri, art dealer, kritikus, media, Institusi seni dan kurator, di dunia sepak bola ada pemain, pelatih, manager, penonton, sponsor, pemilik klub, media dan kritikus serta komentator. Masing masing pemangku infrastruktur adalah sebuah kebanggaan profesi yang diperjuangkan secara profesional dan mempunyai kelas kemampuan serta dunia perjuangan sendiri sendiri. Kalau kemudian seorang pelatih sepak bola dengan alasan pemainnya tidak kunjung piawai seperti yang diharapkan oleh sang pelatih, kemudian sang pelatih memutuskan ikut terjun sebagai pemain, bagaimana ya ?. Bagaimana juga dengan seseorang yang masih memperjuangkan profesinya menjadi kolektor yang baik kemudian tiba tiba memproklamirkan dirinya menjadi kurator pada sebuah pameran dengan alasan tidak puas terhadap kinerja kurator ?.  

Dalam logika saya, orang orang yang membanggakan dan menghargai sebuah profesi akan sulit melakukannya, walaupun itu sah sah saja dan tidak ada orang yang bisa menghalangi. Lebih penting lagi orang suka lupa, dengan melakukan tindakan tersebut, orang akan menilai bahwa orang tersebut tidak  menghargai dirinya sendiri dalam konteks sebuah profesi yang pada hakekatnya  selalu harus  terus menerus diperjuangkan. 

Kita kembalikan saja kepada para kolektor kurator yang menjadi topik perbincangan ini. Kita tunggu  pembuktian kiprah selanjutnya dalam menjalankan double profesi. Apakah mereka akan menjadi manusia ajaib dalam dunia nya atau hanya akan menjadi pelengkap cerita remeh temeh di sore hari.  

Semarang, 31 Mei 2013***



Wahyu Nugroho, Perupa (2/6’13)

saya terkesan dg tulisannya Pak Chris Dharmawan. Kita sering mengabaikan, perjuangan seseorang dlm mencapai sebuah prestasi. Kadang2 kita malah bersikap sinis, curiga, atau iri atas prestasi seseorang. Salah satu hikmah yg terkandung dlm tulisannya Pak Chris adalah apa pun prestasi yg telah dicapai seseorang itu, dia telah melewati masa waktu panjang berusaha dengan kerja keras dan sungguh - sungguh, tidak bersantai seperti gampang gampang membalik tangan.

Wahyu Nugroho, Perupa tinggal di Pasuruan***


Widji Paminto Rahayu, Perupa ISI tinggal di Tulungagung(2/6’13)

Semakin seru namun tambah dewasa posisi SRI, adanya macam2 wacana dan akulturasi budaya. Wacana dari berbgai disiplin, diperlukan sifat ‘nyegara’ artinya ‘hatinya seluas, sedalam lautan’. Disamping kecerdasan yg tinggi juga diperlukan ‘daya ma’lum yg tinggi. Seperti segara / samodera tdk pernah ‘buthek’, walau di ‘dicemplungi’ sampah nuklir sekalipun. Inilah resiko Mbak SRI dipandang dari macam2 sudut pandang….

Widji Paminto Rahayu,  Alumnus ISI Yogya, tinggal di Tulungagung***


Amrizal Salayan,  Perupa, Pengamat Seni dan Dosen ITB (2/6’13)

Ketika masyarakat SRI berada dalam atmosfeer keterbukaan yang dipupuk oleh galeri, kurator, kolektor, seniman dan media komunikasi dalam setiap diskusi terbuka yang cerdas, inspiratif, bijak, maka dunia SRI menjadi media kearifan .. Dan sertamerta dunia senirupa menjadi penting dalam membangun peradaban manusia .. Kepedulian Kangmas Hendrotan sangat berdampak positif .. Semoga jalan kita diberkahi. 
Aamiin .........

Ketika perhelatan seni (penciptaan, pameran, diskusi, dan pengkoleksian) hanyalah sekadar pemuas nafsu kebanggaan duniawi, ketika itulah seni keluar dari hakekat tujuannya (jalan mencerdaskan dan mewarnai kehidupan) dan ketika itu pula seni sudah menjadi barang biasa yang tak penting-penting amat, dan pada saat yang sama, ia (seni) sudah menistakan eksistensinya, dan hal itu disebabkan oleh masyarakat seni itu sendiri .. Mengangkatnya tinggi melangit, sekaligus menistainya ke lumpur noda. Ironis. Mari kita sama2 meluruskan niat, ber-sungguh2, karena tidak banyak manusia yang dianugerahi potensi dunia seni.. Seluruh aktivitas kita adalah cerminan kualitas kita dalam memahami dan mensyukuri anugerah itu.. Selamat berjuang sahabat semua.***



Ridwan M., Pemilik Galeri (3/6’13)

Ikutan ngobrol sambil minum kopi di udara dingin kota Magelang Ridwan muljosudarmo Syang art space Magelang

Setelah membaca tulisan , diskusi dan berbagai komentar dari banyak teman, saya pengen ikut nimbrung biar tidak ngantuk. Ya .. Ini sedikit pengalaman saya dalam mengelola art space yang berusia muda. Saya mencoba merenungkan .......!!. Dalam buku katalog dari berbagai galeri untuk suatu pameran senirupa disitu tentu adanya tulisan. Dalam tulisan selalu diberi judul dan siapa yang membuat tulisan itu. Disebutkan sebagai apa status penulis ini , ada yang mencantumkan sebagai kurator atau penulis atau komentator.

Tentu predikat kurator yang paling keren ! Ya, Setelah kita baca isi tulisan di katalog tersebut, baru kita bisa menilai tulisan ini bermakna sebagai hasil kurasi kurator atau hanya tulisan saja atau komen komen tentang karya yang dipamerkan. 

Hasil seorang kurator terlihat dari keterlibatan sang kurator tersebut dari pencetusan ide dan tujuan pameran, pemilihan seniman, proses berkarya hingga karya selesai, pembuatan katalog pameran bahkan sampai proses display pameran di ruang galeri. semua ini tugas seorang kurator. ( honor kurator kan mahal jadi harus banyak tugasnya )

Sedangkan penulis ataupun komentator tak lebih hanya membahas , menilai dan menjembatani tentang hasil akhir dari karya karya yang dipamerkan. Maksudnya setelah karya karya yang akan dipamerkan selesai dibuat oleh seniman , baru penulis ini membuat tulisan tentang karya karya tersebut. ( lebih ringan kerjanya, jadi honornya rada murah ).

Ini sedikit pengalaman dan pemahaman saya tentang peran seorang pantas secara profesional dipredikatkan sebagai kurator, penulis atau komentator. Kalau ada yang tidak pas mohon dimaklumi apalagi juga membicarakan masalah honor juga harap maklum karena hanya dari art space bukan galeri. 

Jadi saat ini yang kita diskusikan dalam blog, mungkin hanya salah " ketik " saja mencantumkan predikat sebagai apa kolektor tersebut. Kalau salah ya pak hendrotan yang salah, kenapa saya disuruh nulis disini. 

Salam 
Magelang 3 Juni 2013***




Edwin Rahardjo, Pemilik Galeri, Ketua Umum AGSI (4/6'13)

Pak Hendro,

Saya mengibaratkan dunia senirupa Indonesia seharusnya sebagai satu kesatuan militer, dimana para Jendral didalamnya, yang ahli dibidang masing-masing departemen, selayaknya bekerja pada porsinya masing-masing,  menggalang kekuatan,  bersatu menyusun strategi untuk menghadapi musuh dari luar. Namun disayangkan, yang terjadi para Jendral tersebut saling hantam, saling tuding,  saling  menyalahkan, serta merasa dirinya paling benar,  sementara kepentingan menyusun strategi terlupakan.

Alangkah baiknya apabila kita siap untuk saling koreksi diri, lapang menerima kritik dan saran dan tidak saling tuding, tentunya energi  positif tersebut,  akan lebih terfokus untuk  bersama-sama memikirkan masa depan senirupa Indonesia yang lebih baik. 

Salam,
Edwin*** 












Minggu, 19 Mei 2013

KOLEKTOR MENJADI KURATOR - Update tanggal 20 Mei 2013


Enin Supriyanto, Kurator (20/5’13)

Bapak Dr. Wiyu Wahono dalam penjelasannya di forum ini menyatakan: "Bahwa seorang kolektor mengkurasi satu pameran bukanlah sesuatu hal yang baru. Salah satu contoh adalah kolektor Florida Rubell yang sejak lama melakukan hal yang sama."

Pernyataan dan 'pembelaan diri' yang diajukan Bapak Wiyu itu mengingatkan saya pada seorang teman yang main bola 'tarkam' (antar-kampung) dan sempat membawa tim-nya jadi juara meskipun gol hasil 'sundulan kepala'nya mestinya tidak sah, karena sempat terlihat tangan kirinya ikut menyampok bola. Waktu saya ajukan keberatan saya, teman itu menjawab: "Sudahlah… Yang begitu itu sih biasa! Maradona juga 'gitu!" Nah, dalam alur pikiran teman ini, dia adalah sama dan setara dengan Maradona. Kedua, soal tindakan Maradona sah atau tidak, dia tidak hirau. Yang penting 'kan Maradona yang pemain hebat dan terkenal itu yang melakukan.

Pengetahuan saya sedikit dan dangkal soal kolektor hebat yang juga jadi kurator. Saya tidak tahu soal kiprah Florida Rubell yang disebut Bapak Wiyu. Yang saya tahu adalah pasangan kolektor Donald dan Mera Rubell yang kini koleksinya dikelola melalui Rubell Family Collection and Contemporary Arts Foundation. Lokasinya di Miami, Florida, A.S.

Kalau Florida Rubell yang dimaksud Bapak Dr. Wiyu adalah bagian dari keluarga dan lembaga ini, maka pertanyaannya: Apakah benar kiprah dan pencapaian Bapak Wiyu sebagai kolektor di Indonesia sungguh setara dengan apa yang telah dicapai dan dilakukan oleh Florida Rubell? (Kalaupun Florida Rubell yang disebut sebagai contoh oleh Bapak Wiyu bukan dari lembaga/keluarga Rubell tadi, sebenarnya pertanyaan kepada Bapak Wiyu masih tetap sama.)

Rupanya memang demikian, setidaknya menurut alur pikiran Bapak Dr. Wiyu pribadi. (Padahal, belum tentu juga Florida Rubell menganggap apa yang dia lakukan dan dia capai dapat 'disama-samain' begitu saja dengan apa yang sudah dicapai dan dilakukan oleh Bapak Wiyu sebagai kolektor.)

Kalau saja para kolektor Indonesia—terutama dan khususnya Bapak Wiyu—terus mengoleksi karya seni rupa, menata dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya dan bahkan nanti "membagi" koleksinya untuk masyarakat — seperti keluarga Rubell di Miami, Florida itu, atau seperti keluarga Guggenhein di New York dan Venice, atau Christian Boros di Berlin dan juga sekian nama besar kolektor lain dengan pencapaian dan sumbangan mereka kepada komunitas seni rupa di negerinya masing-masing dan masyarakat luas — itu tentulah tindakan seorang kolektor yang sungguh sesuai dengan tempat dan perannya. Kita sangat membutuhkan kolektor seperti itu di Indonesia. Kalaupun nantinya hanya itulah satu-satunya pencapaian dan sumbangan Bapak Dr. Wiyu, yakni sebagai kolektor hebat seperti nama-nama besar tadi, bukankan itu sudah sangat luar biasa? Itu pantas dapat penghormatan dan penghargaan dari komunitas seni rupa Indonesia, atau bahkan bangsa Indonesia.

Kurator di Indonesia punya banyak kekurangan?  Bukankah kondisi yang sama juga berlaku bagi para pelaku yang lain di ranah seni rupa kita ini, baik ia kolektor, pemilik/pengelola galeri atau balai lelang. Begitu juga dengan seniman. Sama juga dengan kritikus seni rupa, jurnalis, dosen/pendidik, dan lain-lain. Sebagian masih terus belajar, bekerja dan berusaha jadi hebat. Sebagian, mungkin juga tidak akan pernah diakui hebat.

Adalah sudah sangat bagus kalau tiap pihak terus berusaha agar masing-masing peran dan profesinya terus dilakukan dengan cara yang lebih baik, jadi hebat dan berguna bagi komunitas dan masyarakatnya. 

Tiap orang yang ingin mendaki ke tempat tinggi dan hebat, akan sungguh jadi hebat karena dari tempat tinggi ia ingin melihat dan mengagumi keluasan dunia dan kehidupan dengan lebih baik lagi. Bukan sebaliknya: ingin cepat naik ke tempat tinggi, melulu agar seluruh dunia bisa melihat dan mengaguminya.

Enin Supriyanto***


Agung Hujatnikajennong, Kurator, Dosen (20/5’13)

Tanggapan Saya

Pak Hendro yang baik,
Terima kasih sudah mengundang saya untuk ikut menanggapi topik 'kolektor sebagai kurator' yang sedang ramai dibicarakan di blog bapak. Saya senang, Pak Hendro begitu gigih mengelola blog ini, dan berhasil mengumpulkan tanggapan-tanggapan yang beragam terhadap topik tersebut. Sebagian berupa tulisan-tulisan serius dan kritis, dengan rujukan teori-teori dan sejarah yang kita bisa temukan dalam buku-buku kuliah. Sebagian yang lain, meskipun pendek-pendek, juga tidak kalah kritis dan serius. Alhasil, blog bapak ini justru menjadi seru dan menarik karena tidak ada batasan quota kata ataupun ‘kedalaman’ tulisan yang dimuat.

Saya termasuk penanggap yang ‘telat panas’ dan ‘telmi’, alias telat mikir. Alasan yang sebenarnya adalah karena urusan ‘ini-itu’ lainnya yang menyita waktu. Tapi persoalan ‘kolektor menjadi kurator’ ini sesungguhnya begitu rumit dan krusial. Rumit, untuk orang-orang yang betul-betul mengamati dan meneliti medan seni rupa. Krusial, bagi mereka yang betul-betul peduli dan berharap pada terciptanya situasi yang lebih baik di masa depan. Sehingga untuk memberikan tanggapan yang ‘asal nyemplung’ juga buat saya juga tidak mudah.

Setelah membaca semua tulisan yang telah diunggah di blog bapak sampai hari ini (Sabtu, 18 Mei, pukul 00.30), sepanjang ujung dan pangkal perdebatan saya menangkap pertanyaan-pertanyaan tentang 'otoritas kuratorial'. Ini tercermin pada kata-kata ‘sah atau tidak’, ‘etis atau tidak’, ‘berhak atau tidak’, dll., dsb. Para penanggap sudah memberikan jawaban masing-masing. Saya sendiri punya jawaban singkat yang kurang lebih sama dengan sejumlah penanggap, yaitu bahwa yaitu bahwa kapasitas kuratorial seseorang harus diukur dari mutu pameran yang ia kerjakan. Saya juga sepakat dengan pandangan konstruktif yang mengatakan bahwa, mengingat berbagai situasi dan kondisi yang masih carut marut, sudah seharusnya medan seni rupa Indonesia dibangun dengan etika dan asas penghargaan pada kapasitas kepakaran seseorang. Tapi saya ingin menunda penjelasan yang langsung menyasar pada pertanyaan pak Hendro, dan, alih-alih, memperluas  diskusi ini dengan persoalan ‘otoritas’ yang saya maksud.

Buat saya ‘otoritas’ adalah persoalan sosiologis yang klasik sepanjang sejarah seni rupa modern. Persoalan ini jelas ada karena kita hidup dalam medan seni rupa, yang tidak lain adalah suatu jejaring individu, kelompok/komunitas dan institusi (pemerintah maupun partikelir). Jejaring ini terbentuk karena kita diikat oleh suatu ‘mistifikasi’ yang sama, yaitu kepercayaan pada pentingnya (praktik, wacana dan medan) seni rupa. Secara alamiah maupun arbitrer ada sikap-sikap dan kepasrahan tak sadar tentang fundamentalisme seni yang terartikulasikan melalui praktik sosial dalam medan seni rupa. Kebenaran satu-satunya yang berlaku dalam medan ini adalah ‘seni rupa itu penting!‘ (untuk satu dan berbagai alasan lain yang boleh jadi berseberangan).    

Secara sekilas dan kasat mata, jejaring dalam medan seni rupa memang tampak cair,  ‘demokratis’ dan nirkelas. Kecairan itu terlihat terutama dalam suasana pembukaan pameran, di mana, misalnya, para pejabat tingkat tinggi, para kolektor yang notabene usahawan/wati yang sukses bisa duduk, berbaur, berbincang dan menikmati pameran bersama-sama dengan seniman (penyair, sastrawan, pelukis, dll.), kurator, kritikus, pemilik galeri, penyalur seni dan para penonton dari berbagai kalangan.

Kenyataannya, medan seni rupa tidak secair apa yang kita sering bayangkan terjadi dalam pembukaan pameran. Ia adalah jejaring yang hirarkis. Di balik suasana meriah dan cair itu ada persaingan dan ‘pertarungan’  kepentingan (yang boleh jadi ‘kejam’) di antara individu dan kelompok. Para penganut faham Marxisme klasik akan mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam dunia sosial selalu merupakan persaingan antar kelas. Tapi menurut saya ‘pertarungan’ yang terjadi dalam medan seni rupa  tidak sesederhana seperti dua kekuatan oposisional yang tengah berhadap-hadapan dan saling menjatuhkan secara ideologis.

Menyitir para Foucaultian dan Bourdieusian, medan seni rupa pada dasarnya dapat dilihat sebagai tempat dimana ‘kuasa’ (power) beroperasi. Foucault menjelaskan ihwal ‘kuasa disipliner’, sementara Bourdieu menyebutnya dengan ‘kuasa simbolik’. Saya tidak ingin berpanjang-dalam dengan penjelasan tentang dua paradigma pemikiran tersebut. Tapi inilah sebabnya mengapa saya kaitkan pertanyaan tentang ‘kolektor sebagai kurator’ dengan persoalan ‘otoritas’, yang mungkin bisa menyederhanakan pengertian ‘kuasa’ yang dimaksud.

‘Kuasa’ adalah semacam kekuatan yang melaluinya seseorang atau kelompok dapat mencapai tujuan dan kepentingan melalui suatu 'pertarungan' dengan kehendak-kehendak lain. ‘Kuasa’ beroperasi tidak secara kasat mata. Alih-alih, ia adalah kekuatan disipliner yang tak terlihat, yang melaluinya produksi wacana dan representasi dimungkinkan hadir secara subjektif dan tak sadar dalam ucapan dan tindakan sehari-hari. Mempersoalkan otoritas kuratorial sebagai wacana tentang kuasa adalah jalan masuk yang menarik, tidak hanya untuk menelaah persoalan dalam blog ini, tapi juga bermanfaat jika kita ingin menelisik apa dan di mana 'kuasa' dalam medan seni rupa, dan bagaimana ia mewujud dalam tindak-tanduk para aktor/agen dalam medan seni rupa.

Pro dan kontra tentang 'sah' atau 'tidak sahnya' kolektor mengkuratori sebuah pameran menunjukkan bahwa medan seni rupa selalu membutuhkan semacam mekanisme otorisasi, legitimasi, atau pentahbisan (consecration), yakni cara-cara yang memungkinkan suatu praktik dalam medan seni rupa dilimpahi semacam aura yang khusus dan berbeda dengan yang lain. Saya menggunakan istilah ‘otoritas kuratorial’ karena pada dasarnya dalam medan seni rupa mekanisme semacam itu dijalankan juga melalui pameran. Pertanyaan selanjutnya, di manakah 'otoritas kuratorial' di Indonesia? Seniman, publik, kolektor, galeri, institusi, penyalur seni, ataukah kurator sendiri? Apakah otoritas itu ‘diciptakan’ oleh satu atau segelintir aktor (agen)? Secara individual atau kolektif, secara arbitrer atau ‘natural’?

Saya cenderung berpendapat bahwa otoritas kuratorial dalam medan seni rupa tidak hanya ada di tangan seorang kurator belaka. Proses pentahbisan, baik itu dari objek non-seni menjadi seni, dari ‘seni rendah’ menjadi ‘seni tinggi’, ‘artisan‘ menjadi ‘seniman‘, ‘seniman pinggiran‘ menjadi ‘seniman mapan’, dll., dst., dilakukan secara bersama-sama dalam totalitas posisi para agen/aktor dalam medan (seni rupa). Paradigma fungsionalisme struktural akan mengatakan bahwa proses pentahbisan semacam itu adalah hasil dari suatu kerjasama (cooperation) antara berbagai agen dengan peran-peran yang berbeda. Akan tetapi, seorang analis Bourdieusian akan melihat proses pentahbisan itu dilakukan melalui berbagai perjuangan atau pertarungan yang menentukan terjadinya pertukaran dan transformasi modal simbolik (symbolic capital: ekonomi, sosial, politik dan kultural, intelektual, dll.).

Dalam proses pertukaran dan transformasi modal simbolik, kuasa seringkali dilihat bersumber dari modal tertentu. Akan tetapi ia dapat terakumulasi maupun lenyap dalam 'pertarungan' ketika bertransformasi menjadi modal yang lain. Ia hanya akan disingkap di dalam medan melalui keterlibatan modal-modal lainnya. Kuasa simbolik dalam medan seni rupa dapat berdampak pada penyeragaman maupun keterpecahan atau fragmentasi citarasa estetik, kelas, dan hirarki, dan menyebabkan munculnya perbedaan posisi sosial (contoh: seorang seniman aktivis kiri/anti-kapitalis yang radikal akan dianggap melakukan perlintasan ideologis dan menempati posisi sosial yang berbeda dalam medan seni rupa ketika berpameran di sebuah galeri komersial). Analisa tentang modal yang dimiliki oleh seorang agen dalam medan akan menunjukkan posisinya di hadapan kuasa simbolik yang secara dominan berlaku dalam medan

Kembali ke blog ini. Dalam kasus pameran ‘When Collectors Curate a Show’ terdapat upaya-upaya untuk menunjukkan bahwa ‘otoritas kuratorial’ tidak bergantung pada suatu fungsi atau kategori agen tertentu dalam medan (misalnya kolektor, kurator, penyalur seni, kritikus, dll.). Saya sepenuhnya setuju dengan itu, dalam pengertian bahwa siapapun yang memiliki modal kultural yang cukup untuk mengkuratori pameran, tentu saja ‘boleh’, ‘sah’ atau ‘valid’ untuk menjadi kurator, terlepas ia seorang kolektor, makelar seni, tukang sapu, tukang gantung lukisan, tukang las, dan tukang-tukang lainnya yang berkonotasi ‘non-kultural’.

Terjadinya pameran ini sendiri memang dapat menunjukkan bahwa ada pertukaran modal simbolik yang terjadi antara 1) kolektor-quasi-kurator; 2) seniman, dan; 3) galeri. Tapi apakah betul-betul terjadi transformasi / konversi modal? Sayangnya, saya sendiri tidak datang ke pameran yang dimaksud, dan tidak bisa memeriksa sejauh mana modal para kolektor ini sudah cukup untuk bisa dikatakan ‘kultural’. Tapi dari sejumlah komentar yang termuat di dalam blog ini, dan terutama dari analisis Wahyudin yang secara khusus mempersoalkan tulisan dan bingkai kuratorial pameran, saya menduga bahwa para kolektor ini hanya mengandalkan ‘modal ekonomi’ (perkongsian dengan galeri) dan ‘modal sosial’ (pertemanan atau perkenalan mereka dengan seniman) mereka. Dalam pernyataan yang menganggap bahwa kesuksesan pameran dapat diukur dari penjualan karya-karyanya sebetulnya sudah tersirat kuasa simbolik macam apa yang dominan dalam pameran ini.

Analisa terhadap peran galeri penyelenggara pameran menjadi sentral untuk mengetahui transformasi modal semacam apa yang dibayang-bayangkan. Dari label pameran cukup jelas bahwa ada agen-agen yang disebut ‘kolektor’ yang menunjukkan perlintasan (trajectory), habitus dan modal ekonomi yang diharapkan dapat dikonversi menjadi modal kultural dalam medan. Akan tetapi benarkah kuasa ekonomi saja cukup untuk bisa menahbiskan sebuah pameran menjadi ‘auratik’, dan mentransformasikan modal ‘ekonomi’ para kolektor menjadi ‘kultural’, yakni sebagai kurator? Saya menganggap pameran ini gagal, terutama jika dilihat dari perdebatan yang berlangsung di blog ini. 

Dalam medan seni rupa, proses pentahbisan seringkali melibatkan dua pilar, yaitu otonom dan heteronom sekaligus. Pilar otonom identik dengan kepercayaan terhadap otonomi seni itu sendiri. Prinsip seni untuk seni menunjukkan bagaimana pilar otonom beroperasi dalam medan artistik. Sementara yang heteronom berhubungan dengan ikatan-ikatan medan seni rupa dengan prinsip-prinsip dalam medan yang lain (misalnya ekonomi dan politik) dalam mengungkapkan nilai. Contoh dari keberadaan pilar heteronom adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam praktik seni rupa, seperti misalnya komodifikasi objek-objek ‘anti-seni’ (silakan sebut Duchamp, Dada, Fluxus, dll.) sebagai dampak dari nilai ekonomi dan tuntutan bisnis.

Sepanjang sejarah seni rupa, upaya-upaya untuk memisahkan sepenuhnya pilar otonom dari yang heteronom seringkali gagal (terbukti pada proses komodifikasi karya-karya avant-garde, misalnya).Di sisi yang lain, asumsi bahwa otonomi seni adalah mutlak juga sudah lama goyah. Saya sendiri, pada akhirnya, lagi-lagi harus mengikuti pandangan para Bourdieusian yang melihat dua pilar tesebut sebagai suatu kontinum (kesinambungan) yang bersifat multifaset dan ulang-alik.

Tentu saja kita tidak bisa mematok para agen dari keprofesian, atau kategori semacam seniman, kolektor, kritikus, untuk melihat di mana posisi mereka berdasarkan kedua pilar tersebut. Yang bisa kita lihat adalah bagaimana para aktor dan agen tersebut melakukan perlintasan-perlintasan dari satu pilar ke pilar lainnya. Perlintasan semacam itu bahkan sangat mudah ditemukan dalam sejarah praktik kekuratoran di Indonesia. Dari perspektif sejarah, proses pentahbisan seni juga selalu bergerak dari satu pilar ke pilar lainnya.  Ada masa-masa ketika pentahbisan itu bergerak statis dalam pilar otonom, dan seringkali berbanding terbalik dengan logika ekonomi atau politik. Akan tetapi pada masa yang lain, pilar heteronom justru sangat dominan.  

Melalui konsep ‘kuasa’, kita memang bisa memahami medan seni rupa sebagai suatu unit sosial yang berfungsi untuk terus-menerus mempertahankan dan memelihara nilai seni dalam masyarakat dengan berbagai cara. Tapi untuk saya sendiri ada pertanyaan laten yang masih mengganjal: Jika ‘kuasa’ pada dasarnya akan selalu termanifestasikan melalui keterlibatan para aktor/agen dalam medan seni rupa, bahwa aktor/agen dalam medan seni rupa sesungguhnya selalu merupakan objek maupun subjek kekuasaan itu sendiri, kuasa macam apa yang tengah menguasai kita saat ini? Perlintasan apa yang tengah dilakukan ketika menulis tanggapan untuk blog ini? Mengapa ketika ada sebuah biennale internasional di Indonesia yang dikuratori oleh sejumlah wartawan / penulis seni rupa, yang notabene tak punya cukup pengalaman untuk mengkuratori sebuah pameran besar berskala biennale, isu seperti yang sedang kita diskusikan kali ini tidak muncul? Mengapa isu ini justru menghangat justru ketika ada sebuah galeri komersial yang mengundang sejumlah kolektor untuk 'mengkuratori' pameran? 
    
Agung Hujatnikajennong***



Grace Samboh, Kurator, Pekerja seni (21/5’13)

Pak Hendro Tan yang baik,

Melanjutkan pertanyaan Agung Hujatnikajennong: Mengapa tidak membicarakan Biennale Jakarta 2011 yang dikuratori oleh tiga wartawan/penulis seni rupa dan bukan kurator? Apakah dengan adanya perbincangan ini berarti sebuah pameran tiga-seniman di sebuah galeri komersial lebih penting daripada Biennale Jakarta? Apakah dengan saya berpendapat sekarang ini saya sedang berkontribusi "membuat pameran kolektor-kurator" ini menjadi penting? Bagaimana dengan Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2013 ini? Bukankah, selain kurator Rifky Effendy, ada peran jurnalis Carla Bianpoen di dalam kerja kuratorial Paviliun Indonesia? Mengapa kita tidak memperbincangkan (paling tidak) kedua contoh barusan? Atau, mengapa perbincangan tentang kedua contoh tersebut tidak "dilembagakan" dalam blog ini? Manakah yang lebih penting menurut Pak Hendro Tan? Dan, mengapa?

Karena perbincangan ini sudah berlangsung, apakah mungkin kita mengirimkan paling tidak dua pertanyaan awal Pak Hendro Tan kepada yang bersangkutan kolektor-kurator? Demi pengetahuan bersama, apakah para kolektor-kurator mau menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?

1.         Pertimbangan motif dan tujuan yang menggerakkan mereka untuk mengurasi?
2.         Praktik dan paradigmatik kuratorial macam apa yang mereka amalkan dalam pameran itu?

Saya rasa, hanya dengan jawaban merekalah kita bisa memperbincangkan soalan ini lebih lanjut atas nama pengetahuan mengenai kerja (dan etika) kuratorial di Indonesia. Itupun kalau yang bersangkutan menganggap kerja (dan etika) kuratorial di Indonesia itu ada dan cukup penting untuk diperbincangkan.

Awalnya, saya cenderung malas menanggapi reramaian "kolekor-kurator" ini. Saya sepakat dengan komentar singkat-jelas-padat dari seorang teman di Bandung, "Gue pikir, kalau dibicarakan terus, malah jadi penting pameran itu." Kalimatnya sederhana. Tapi secara tidak langsung ia sedang mengatakan bahwa menurutnya ini bukan soalan yang penting, apalagi untuk dikaji. Tentu jadi menarik untuk bertanya kepadanya: Apa yang penting dalam seni rupa Indonesia sekarang ini? Mengapa ia penting? Itu juga pertanyaan yang terus-menerus saya tanyakan pada diri saya sendiri.

Sekarang, keingintahuan saya akan jawaban para kolektor-kurator mendorong saya untuk menuliskan pendapat ini.

Salam hangat,
Grace Samboh (Kurator, Pekerja seni)***


Wed, May 22, 2013 at 3:34 PM from Arif Suherman, Kolektor (22/5'13)

HT. (hendrotan) :Pak Arif Suherman met siang , akhir bulan ini diskusi on line bertema Koletor Menjadi Kurator diblog www. sriseutuhnya.blogspot.com akan selesai - ditutup , Anda sebagai tokoh dipokok pembicaraan tsb. berkesempatan memberi tanggapan , silahkan di tunggu sd. 26 Mei .

Salam hormat hendrotan

AS. (Arif Suherman) :
Terima kasih atas kesempatannya pak. Saya pikir sudah banyak expert dan tokoh senirupa Indonesia yg sudah kasih masukan yg bagus2. Saya sebagai collector baru sepertinya kurang pantas utk tambah saran. 

Sesuai yang sudah saya sampaikan ke bapak, tujuan saya sangat sederhana sekali dan mungkin berbeda dengan dua kurator yg lain. Ini juga sudah saya sampaikan saat forum diskusi di Umahseni. Silakan bapak check. 

HT :
Maaf , apa sms Arif ini perlu diposting sebagai pernyataan ? 

AS :
Tidak perlu Pak... Mungkin utk Bapak saja karena sebenarnya sdh saya sampaikan saat diskusi awal.Saya juga tidak ingin membuat teman2 senirupa di Indonesia yg tidak berkenan dgn pameran ini merasa tambah tidak berkenan. 

HT :
Banyak terima kasih Arif 

AS :
Di saat awal saya hanya ingin mencoba utk kerjasama di suatu project dengan Davy Linggar, seniman yg saya respect dan juga sahabat baik saya. Davy sudah brp tahun tidak membuat karya dan itu suatu hal yg saya sayangkan karena saya merasa Davy adalah seorang seniman yg baik. Dua tahun ini saya banyak berdiskusi mendalam dengan Davy mengenai art dan ini sangat menyenangkan sekali. Pada saat kesempatan ini ditawarkan ke saya, saya pikir ini chance yg baik utk bekerjasama lebih erat lagi dan mudah2an Davy dapat memulai membuat karya lagi.

Setelah project ini selesai, saya sempat berpikir role saya di pameran ini sebenarnya apa? Ini juga ditanyakan oleh ibu Carla sebelum pamerannya dibuka. Saya sampaikan ada 3 role yg saya jalankan yg mungkin sebagian tidak di plan dari awal.

1. Sesuai dgn tujuan awal saya... Agar Davy membuat karya. Saya pikir ini dapat terrealisasikan. 

2. Role saya adalah sebagai Partner dalam diskusi dan berikan inspirasi kepada Davy. Lebih tepatnya inspirasi bukan dalam "creating artworks" tapi agar Davy "menjadi lebih critical terhadap karya dia sendiri".

3. Mencoba untuk menulis satu kuratorial agar karya Davy dapat di mengerti dan lebih dinikmati oleh audience. Dari seluruh pengalaman pameran ini, menurut saya ini adalah yg paling sulit utk saya. Untuk saya memahami karya Davy tidak sulit karena kita sdh sekian lama berdiskusi. Sering kali Davy tidak perlu bicara banyak dan saya dapat menangkap apa yg dia ingin menyampaikan dalam karyanya. Akan tetapi gimana caranya utk bisa membantu audience utk melihat yg sama merupakan suatu hal yg tidak mudah. Ini menjadi Challenge utama bagi saya di pameran ini. 

Saya sangat berharap Pak Hendro dapat meluangkan waktu sedikit utk membaca kuratorial saya. Mudah2an ini dapat membantu Bapak utk sedikit bertambah enjoyment saat lihat  exhibition Davy. Ini akan merupakan suatu kehormatan yg luar biasa bagi saya. 

Mohon maaf  Pak kalau bahasa Indonesia saya kurang bagus. Kuratorial tsb memang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Semoga ini dapat menjawab pertanyaan Bapak. Thanks and have a good day. 

HT : Pak Arif, tulisan teremail sudah saya terima, bolehkah diposting di blogwww.sriseutuhnya.blogspot.com . harap dijawab dan terima kasih.

AS :
Boleh di posting pak. Thanks.***



hendrotan, Pemilik Galeri  (23/5’13)



Pembaca blog Yth.

TULISAN KURATORIAL para Pemeran “Kolektor Menjadi Kurator” bisa di baca di http://umahseni.com/main/
Salam hangat hendrotan***



Teguh Ostenrik, Perupa (24/5’13) 

Dearest Adi Wicaksono, permainan bolamu memang sangat menarik. Meskipun saya pernah tinggal lama di negeri yg persepakbolaannya sangat kuat. Bahkan pernah ber-kali2 jadi tukang sobek karcis di Olympia Stadion Berlin. Kok saya tetap tidak pernah menyukai olahraga yang satu ini. Tapi keingintahuan tetap ada dan sering muncul kepermukaan. Achirnya saya nonton pertandingan bola dunia di TV. Saya coba ignor BOLA nya. Wah menarik sekali. Ada pertunjukan koreografi yg maha dahsyat, dengan 22 penari pria yg saling berkejaran, melompat, menyikut, menendang kaki lawan penarinya bahkan mengumpat.

Tiba2 ada yang menari, berciuman, berpelukan bahkan saling tindih diatas rumput. Wah. Mereka hebat. Berani melakukan vorplay didepan umum, bebas malu menyiapkan diri untuk sebuah orgie. Jantungku semakin berdebar, merasakan getaran homoerotik. Tiba2 celana dalamku terasa sesak, bahkan pantatku membasah. Tapi ada keraguan yg menghantui benakku. Mungkin takut kehilangan bola...? ***